Palu Sudah Diketok, Kepala Desa Bisa Menjabat 16 Tahun
Kepala Desa Menjabat 16 Tahun - Gak bahaya ta bahas soal ini, apalagi blog ini sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Mbuh wis, ndak ngurus. Yo bahaya seh sakjane tapi aku pengen ngomel.
Beberapa hari lalu, 1 Februari 2024, tanpa sengaja aku membaca sebuah headline berita pada kanal berita online, Radar Semarang, berisikan berita tentang Demo Kades di Pusat Kota Ricuh. Hal ini menarik hatiku untuk membaca berita tersebut. Muncul pertanyaan dalam hati, apakah para aparat desa ini sedang berdemo mengaspirasikan suara masyarakat desanya? Sungguh keren, pikirku.
Ternyata aku salah. Dikutip dari kanal berita online radarsemarang.jawapos.com, "Ribuan kepala desa (Kades) dikabarkan menggelar aksi demonstrasi bersama perwakilan Asosiasi Pemerintahan Desa. Demo para Kades dan perwakilan APDES itu terjadi di depan Gedung DPR/MPR, pada Rabu (31/1). Saat melakukan aksinya, para Kades diketahui ada yang membawa alat berupa palu godam (palu besar). Aksi demo Kades itu berlangsung ricuh, setelah diketahui sejumlah massa mencoba merobohkan pintu pagar namun digagalkan petugas.".
Dalam hati aku mengumpat dan menggerutu, "Breng**k, ternyata mereka berdemo hanya untuk memikirkan isi perut mereka sendiri". Sebenarnya kalau dipikir-pikir, demo ini sama dengan demo buruh untuk memperjuangkan status outsourching (penghapusan outsourching), agar tidak ada lagi sistem tersebut dan semua buruh/karyawan dapat menjadi karyawan atau pegawai tetap. Boleh lah mereka, para kepala desa, memperjuangkan perut mereka untuk menjabat lebih lama, tapi kenapa harus ricuh? Kenapa why selalu always, tetapi but tidak pernah never.
Kalau dilihat sebelah mata, hal ini menjadi standart ganda. Kenapa demo buruh boleh ricuh sedangkan demo aparat desa tidak boleh ricuh? Bukan, bukan begitu. Keduanya boleh berdemo dan keduanya tidak boleh ricuh. Tapi seharusnya para petinggi desa itu harusnya bisa mengontrol emosi dengan lebih baik. Bisa menyampaikan aspirasi mereka dengan lebih santun. Bisa mengerti jika merusak aset negara akan ada anggaran-anggaran yang membengkak untuk memperbaiki aset tersebut.
Saat menyampaikan aspirasi seperti ini saja sudah arogan, anarkis dan berakhir dengan ricuh apa lagi saat memimpin desa? Nj**ng!
Sekali lagi ku tekankan, gak masalah untuk meminta perpanjangan masa kontrak. Hal lumrah, apa lagi jika kinerjanya sangat baik ya monggo bisa menjabat selama mungkin. Tapi ya jangan ricuh. Saat demo saja ricuh apa lagi saat memipin desa nanti?
Walaupun teman-temanku bilang, 9 tahun waktu menjabat itu sangat lama ditambah tuntutan jadi 3 periode itu berarti 27 tahun. Ini bisa menumbuhkan dinasti kepemimpinan di pedesaan nantinya, menjadi sebuah sistem pemerintahan yang tidak demokratis lagi. Tapi ya sudahlah, namanya juga aspirasi, semua berhak menyampaikan aspirasinya.
Pagi ini, seluruh kanal berita online ramai memberitakan bahwa Legislatif sudah menyepakati Kepala Desa dapat memimpin selama 8 tahun dan dapat diperpanjang 2 periode, artinya jika terpilih 2 periode maka akan menjabat selama 16 tahun. Selamat ku ucapkan kepada para aparat desa, meski tuntutan 27 tahun tidak dikabulkan, tapi sudah bisa memperpanjang masa menjabat 6 tahun jika sebelumnya hanya 10 tahun.
Menurut komentar beberapa teman, ini sarat dengan politik. Di tahun politik seperti sekarang, para Legislatif sangat membutuhkan suara dari para aparat desa.
Tapi menurutku, ini adalah awal baru dari demokrasi. Kita semua tahu bahwa desa adalah sistem pemrintahan paling kecil dalam negara. Bisa jadi kedepannya akan dibentuk sebuah keputusan baru untuk memperpanjang masa jabatan Legislatif dan Presiden atas acuan keputusan yang sekarang ini dilaksanakan. Ya siapa tahu kan?
Jadi nasib kami para buruh outsourching kapan nih para Legislatif memberi berita baik atau setidaknya menjawab demo-demo kami yang kami suarakan setiap tahun secara rutin didepan gedung DPR/MPR? Undang-undang terakhir menyebutkan masa kontrak paling lama adalah 5 tahun (sebelumnya 2 tahun), setelah itu wajib diangkat menjadi pegawai tetap.
Tapi pada prakteknya, normalnya, setiap 5 tahun (sebelumnya 2 tahun) karyawan dipecat lalu dikontrak ulang bahkan ada yang setiap tahun dipecat lalu dikontrak ulang jadi masa kontrak ter-reset setiap kali dipecat lalu dikontrak ulang. Belum lagi pemotongan gaji saat tidak masuk kerja ketika cuti dan sakit serta alpha.
Yuk bisa yuk menghapus sistem outsourching, mumpung ini masih tahun politik kan ya? Atau mungkin karena kami tidak memiliki dana sebesar aparat desa? Atau mungkin kami tidak memiliki masa sebesar para parat desa? Ya Entah lah.
Tapi untunglah berita diatas tidak terjadi di Negeriku tercinta. Di Negeriku tidak ada aparat desa yang haus kekuasaan apalagi anarkis. Di Negeriku tidak ada tuh namanya sistem outsourching. Hal ini hanya terjadi di Negara Api yang salah satunya terdapat Desa Konoha.
modal jadi perengakat desa, sangat besar
BalasHapusmungkin sebagian belum bisa balik modal, makanya ingin diperpanjang. Biar dapat untung
kerja sekarang memang serba kontrak, tapi ya bagaimana lagi, hanya bisa pasrah
Betul, menurut seorang teman, salah satu desa di kotaku modal kampanye untuk menjadi Kepala Desa bisa sampai 2M.
HapusEmang masa jabatan diperpanjang tapi kesempatan pemilu cuma dua periode, dan menurut saya itu tidak terlalu bermasalah, karena membantu mengurangi beban kampanye. Dan mampu meredakan perselisihan untuk jangka panjang.
BalasHapusWah insight yang bagus, terima kasih atas masukannya. Bener juga ya bisa menghemat biaya kampanye yang setiap calon tidak menghabiskan dana yang sedikit, belum lagi biaya pemilihannya.
Hapus